PENDIDIKAN DAN
PEMBANGUNAN
Pendidikan menduduki posisi
sentral dalam pembangunan karena sasarannya adalah peningkatan kualitas SDM.
Oleh sebab itu, pendidikan juga merupakan alur tengah pembangunan dari seluruh
sektor pembangunan. Terdapat suatu kesan bahwa persepsi masyarakat umum tentang
arti pembangunan lazimnya bersifat menjurus. Pembangunan semata-mata hanya
beruang lingkup pembangunan material atau pembangunan fisik berupa gedung,
jembatan, pabrik dan lain-lain. Padahal sukses tidaknya pembangunan fisik itu
justru sangat ditentukan oleh keberhasilan di dalam pembangunan
rohaniah/spiritual, yang secara bulat diartikan pembanguna manusia, dan yang
terakhir ini menjadi tugas utama pendidikan.
Persepsi yang keliru tentang arti
pembangunan, yang menganggap bahwa pembangunan itu hanya semata-mata
pembangunan material dapat berdampak menghambat pembangunan sistem pendidikan,
karena pembangunan itu semestinya bersifat komprehensif yaitu mencakup
pembangunan manusia dan lingkungannya. Paparan materi ini bermaksud memberikan
gambaran yang komprehensif tentang pembangunan manusia dengan lingkungannya.
Dengan mempelajarai secara
seksama materi ini anda akan memahami esensi pendidikan dan pembangunan, titik
temu antara keduanya, peranan pendidikan dalam pembangunan, khususnya
pembangunan sistem pendidikan nasional. Selanjutnya secara rinci anda akan
dapat:
1. Menjelaskan
perbedaan arah antara pendidikan dan pembangunan.
2. Menjelaskan
sumbangan pendidikan dalam pembangunan (pada umumnya).
3. Menunjukakan
titik temu pendidikan dengan pembangunan.
4. Menjelaskan
posisi manusia sebagai objek dan manusai sebagai subjek pembangunan.
5. Menjelaskan
dengan menggunakan ilustrasi sumbangan pendidikan pada pembangunan dilihat dari
segi: sasaran pendidikan, sistem/lingkungan pendidikan, dan jenjang pendidikan.
6. Memberikan
alasan, mengapa sistem pendidikan perlu selalu di sempurnakan.
7. Menjelaskan
aspek-aspek dari sistem pendidikan yang menjadi sasaran pembangunan.
8. Menjelaskan
hubungan antara aspek-aspek sistem pendidikan.
9. Memberikan
contoh yang dapat memperjelas pembangunan terhadap aspek-aspek sistem
pendidikan.
Di
dalam bagian ini akan dikemukakan tiga hal berturut-turut yaitu:
1) Esensi pendidikan
dan pembangunan serta titik temunya.
2) Sumbangan
pendidikan pada pembangunan.
3) Pembangunan
sistem pendidikan nasional.
A.
Esensi
Pendidikan dan Pembangunan Serta Titik Temunya
Menurut paham umum kata
“Pembangunan “ lazimnya diasosiasikan dengan pembangunan ekonomi dan industri
yang selanjutnya diasosiasikan dengan dibangunnya pabrik-pabrik, jalanan,
jembatan sampai kepada pelabuhan, alat-alat transportasi, komunikasi dan
sejenisnya. Sedangkan hal yang mengenai sumber daya manusia tidak secara
langsung terlihat sebagai sasaran pembicaraan. Padahal banyak bukti yang dialami
oleh banyak negara menunjukkan bahwa kemajuan di bidang ekonomi dan industri
yang ditandai oleh kenaikan GNP, lalu kenaikan volume ekspor dan impor sebagai
indikatornya, ternyata tidak otomatis membawa kesejahteraan masyarakat. Kondisi
demikian justru menimbulkan gejala penyerta yang negatif, antara lain:
Kegoncangan sosial politik, karena kesengsaraan masyarakat, seperti dialami
oleh negara Pakistan akhir-akhir ini; meningkatnya angka pengangguran dan
kemelaratan seperti dialami Malaysia dan beberapa negara lain.
Gambaran
diatas itu menunjukkan bahwa pembangunan dalam arti yang terbatas pada bidang
ekonomi dan industri saja belumlah menggambarkan esensi yang sebenarnya dari
pembangunan. Jika kegiatan-kegiatan tersebut belum dapat mengatasi masalah yang
hakiki yaitu terpenuhinya hajat hidup dari rakyat banyak material dan
spiritual.
Pembangunan ekonomi dan industri
mungkin dapat memenuhi aspek tertentu dari kebutuhan misalnya: Kebutuhan akan
sandang, pangan, dan papan, tetapi mungkin tidak untuk kebutuhan spiritual yang
lain.
Bukankah kenyataan menunjukkan
bahwa banyak orang yang secara material cukup mampu, tetapi secara spiritual
menanggung banyak masalah.
Di sini terlihat, bahwa esensi
pembangunan bertumpu dan berpangkal dari manusianya, bukan pada lingkungannya
seperti perkembangan ekonomi sebagaimana telah dikemukakan. Pembangunan
berorientasi pada pemenuhan hajat hidup manusia sesuai dengan kodratnya sebagai
manusia. Mengapa pembangunan yang demikian dikatakan bertumpu pada dan bertolak
dari manusia? Sebabnya, karena hanya pembangunan yang terarah kepada pemeuhan
hajat hidup manusia sesuai dengan kodratnya sebagai manusia yang dapat
meningkatkan martabatnya sebagai manusia. Peningkatan martabat manusia selaku
manusia yang menjadi tujuan dari pembangunan. Tegasnya pembangunan apa pun jika
berakibat mengurangi nilai manusia berarti keluar dari esensinya.
Seperti yang dinyatakan GBHN,
hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia. Pernyataan
tersebut dapat diartikan bahwa yang menjadi tujuan akhir pembangunan adalah
manusianya, yaitu dapat dipenuhinya hajat hidup, jasmaniah, dan rohaniah,
sebagai mahluk individu, mahluk sosial, mahluk relegius, agar dengan demikian
dapat meningkatkan martabatnya selaku mahluk. Jika pembangunan bertolak dari
sifat hakiki manusia, berorientasi kepada pemenuhan hajat hidup manusia sesuai
dengan kodratnya sebagai manusia maka dalam ruang gerak pembangunan, manusia
dapat dipandang sebagai “objek” dan sekaligus juga sebagai “subjek”
pembangunan.
Sebagai objek pembangunan manusia
dipandang sebagai sasaran yang dibangun. Dalam hal ini pembangunan meliputi
ikhtiar ke dalam diri manusia, berupa pembinaan pertumbuhan jasman dan
perkembangan rohani yang meliputi kemampuan: penalaran, sikap diri, sikap
sosial, dan sikap terhadap lingkungannya, tekad hidup yang positif serta
keterampilan kerja. Ikhtiar ini disebut pendidikan.
Manusia sebagai sasaran
pembangunan (baca:pendidikan), wujudnya diubah dari keadaan yang bersifat
”potensial” ke keadaan “aktual”: Bayi yang memiliki “benih kemungkinan untuk
menjadi” dibina sehingga menjadi “kenyataan”.
Faud Hasan menyatakan: “Manusia
adalah mahluk yang terentang antara “potensi” dengan “aktualisasi” (Manusia dan
Citranya, Juni 1985). Di antara dua kutub itu terentang upaya pendidikan. Dalam
hubungan ini perlu dicatat bahwa pendidikan berperan mengembangkan yaitu
menghidupsuburkan potensi-potensi “kebaikan” dan sebaliknya mengerdilkan
potensi “kejahatan”.
Potensi-potensi kebaikan yang
perlu dikembangkan aktualisasinya seperti kemampuan berusaha, berkreasi,
kesediaan menerima kenyataan, berpendirian, rasa bebas yang bertanggungjawab,
kejujuran, toleransi, rendah hati, tenggang rasa, kemampuan bekerjasama,
menerima, melaksanakan kewajiban sebagai keniscayaan, menghormati hak orang
lain, dan seterusnya.
Oleh adanya perlindungan dan
bimbingan orang tua dan pihak lain yang telah dewasa, bayi beranjak “status
quo”nya dalam rentangan antara “naluri” dan “nurani”. Jika seandainya manusia dapat
hidup dengan hanya bekal naluri maka tidak ada bedanya manusia itu dengan hewan. Justru adanya
“nurani” menjadi kriterium pembeda yang prinsipal antara manusia dengan hewan.
Di sini jelas betapa urgennya
peranan pendidikan itu yang memungkinkan berubahnya potensi manusia menjadi
aksidensi dari naluri menjadi nurani, sehingga manusia menjadi sumber daya atau
modal utama pembangunan yang manusiawi.
Manusia dipandang sebagai
“subjek” pembangunan karena ia dengan segenap kemampuannya menggarap
lingkungannya secara dinamis dan kreatif, baik terhadap sarana lingkungan alam
maupun lingkungan sosial/spiritual. Perekayasaan terhadap lingkungan ini lazim
disebut pembangunan.
Jadi pendidikan mengarah ke dalam
diri manusia, sedang pembangunan mengarah ke luar yaitu ke lingkungan sekitar
manusia.
Jika pendidikan dan pembangunan
dilihat sebagai suatu garis proses, maka keduanya merupakan suatu garis yang
terletak kontinu yang saling mengisi. Proses pendidikan pada suatu garis
menempatkan manusia sebagai titik awal, karena pendidikan mempunyai tugas untuk
menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk pembangunan, yaitu
pembangunan yang dapat memenuhi hajat hidup masyarakat luas serta mengangkat
martabat manusia sebagai mahluk. Bahwa hasil pendidikan itu menunjang
pembangunan, juga dapat dilihat kolerasinya dengan peningkatan kondisi sosial
ekonomi peserta didik yang mengalami pendidikan.
Hasil penelitian di negara maju
umumnya menunjukkan adanya kolerasi positif antara tingkat pendidikan yang
dialami seseorang dengan tingkat kondisi sosial ekonominya. Semakin tinggi
tingkat pendidikan yang dialami seseorang, semakin baik kondisi sosial
ekonominya.
Kiranya jelas bahwa hasil
pendidikan dapat menunjang pembangunan dan sebaliknya hasil pembangunan dapat
menunjang usaha pendidikan. Jelasya, suatu masyarakat yang makmur tentu lebih
dapat membiayai penyelenggaraan pendidikannya ke arah yang lebih bermutu.
Uraian diatas menunjukkan
“status” pendidikan dan pembangunan masing-masing dalam esensi pembangunan
serta antarkeduanya.
1.
Pendidikan merupakan usaha ke dalam diri
manusia sedangkan pembangunan merupakan usaha ke luar dari diri manusia.
2.
Pendidikan menghasilkan sumber daya
tenaga yang menunjang pembangunan dan hasil pembangunan dapat menunjang
pendidikan (pembinaan, penyediaan saran dan seterusnya).
B.
Sumbangan Pendidikan pada Pembangunan
Pendidikan sebagai upaya yang
bulat dan menyeluruh hasilnya tidak segera dapat dilihat. Ada jarak penantian
yang cukup panjang antara dimulainya proses usaha dengan tercapainya hasil.
Namun demikian jika ditilik
secara seksama tidaklah dapat dipungkiri bahwa andil yang diberikan oleh
pendidikan pada pembangunan sungguh-sungguh sangat besar. Jika pembangunan
dipandang sebagai sistem makro maka pendidikan merupakan sebuah komponen atau
bagian dari pembangunan.
Sumbangan pendidikan terhadap
pembangunan dapat dilihat pada beberapa segi:
a)
Segi sasaran
b)
Segi lingkungan
c)
Segi jenjang pendidikan
d) Segi
pembidangan kerja atau sektor kehidupan.
1.
Segi Sasaran Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar
yang ditujukan kepada peserta didik agar menjadi manusia yang berkepribadian
yang kuat dan utuh. Serta bermoral tinggi. Jadi tujuan citra manusia pendidikan
adalah terwujudnya citra manusia yang dapat menjadi sumber daya pembangunan
yang manusiawi.
Prof. Dr. Slamet Iman Santoso
mengatakan bahwa tujuan pendidikan menghasilkan manusia yang baik. Manusia yang
baik di mana pun ia berada akan memperbaiki lingkungan. Gambaran tentang hal
ini sudah diuraikan pada bagian terdahulu.
2.
Segi
Lingkungan Pendidikan
Klarifikasi ini menunjukkan
peranan pendidikan dalam berbagai lingkungan atau sistem. Lingkungan keluarga
(pendidikan informal), lingkungan sekolah (pendidikan formal), lingkungan
masyarakat (pendidikan nonformal), ataupun dalam sistem pendidikan pra-jabatan
dan dalam jabatan.
1) Lingkungan
Keluarga
Di dalam lingkungan keluarga anak
dilatih berbagai kebiasaan yang baik (habit
formation) tentang hal-hal yang berhubungan dengan kecekatan, kesopanan dan
moral. Di samping itu, kepada mereka ditanamkan keyakinan-keyakinan yang
penting utamanya hal-hal yang bersifat religius. Hal-hal tersebut sangat tepat dilakukan
pada masa kanak-kanak sebelum perkembangan rasio mendominasi perilakunya.
Kebiasaan baik dan keyakinan-keyakinan penting yang mendarah daging merupakan
landasan yang sangat diperlukan untuk pembangunan.
2) Lingkungan
Sekolah
Di lingkungan sekolah (pendidikan
formal), peserta didik dibimbing untuk memperluas bekal yang telah diperoleh
dari lingkungan kerja keluarganya berupa pengetahuan, keterampilan dan sikap.
Bekal dimaksud baik berupa bekal dasar, lanjutan, (dari SD dan sekolah
lanjutan) ataupun bekal kerja yang langsung dapat digunakan secara aplikatif
(Sekolah Menengah Kejuruan dan Perguruan Tinggi). Kedua macam bekal tersebut
dipersiapkan secara formal dan berguna sebagai sarana penunjang pembangunan di
berbagai bidang.
3) Lingkungan
Masyarakat
Di lingkungan masyarakat
(pendidikan nonformal), peserta didik memperoleh bekal praktis untuk berbagai
jenis pekerjaan, khususnya mereka yang tidak sempat melanjutkan proses
belajarnya melalui jalur formal. Pada masyarakat kita (sebagian masyarakat yang
sedang berkembang), sistem pendidikan nonformal mengalami perkembangan yang
sangat pesat. Hal ini bertalian erat dengan semakin berkembangnya sektor swasta
yang menunjang pembangunan. Di segi lain, hal tersebut dapat diartikan bernilai
positif karena dapat mengkompensasikan
keterbatasan lapangan kerja formal di lembaga-lembaga pemerintah. Di samping
itu juga dapat memperbesar jumlah angkatan kerja tingkat rendah dan menengah
yang sangat diperlukan untuk memelihara proporsi yang selaras antara pekerja
rendah, menengah dan tinggi. Hal demikian dapat dipandang sebagai upaya untuk
menciptakan kestabilan sosial.
3.
Segi Jenjang Pendidikan
Jenjang pendidikan dasar,
pendidikan menengah (SM) dan pendidikan tinggi (PT) memberikan bekal kepada para
peserta didik secara berkesinambungan. Pendidikan dasar merupakan basic education yang memberikan bekal
dasar bagi pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Artinya pendidikan tinggi
berkualitas, jika pendidikan menengah
dan pendidikan dasarnya berkualitas.
Dengan basic education pada pendidikan dasar juga diartikan bahwa
pendidikan dasar memberikan bekal dasar kepada warga negara yang tidak sempat
melanjutkan pendidikan untuk dapat melibatkan diri ke dalam gerak pembangunan.
Pendidikan pada tingkat menengah
memberikan dua macam bekal yaitu membekali peserta didik yang ingin melanjutkan
ke pendidikan tinggi (SMA) dan bekal kerja bagi peserta didik yang tidak
melanjutkan sekolah (SMTA). Pendidikan tinggi (PT) memberikan bekal kerja
keahlian menurut bidang tertentu.
4.
Segi Pembidangan Kerja Atau Sektor
Kehidupan
Pembidangan kerja menurut sektor
kehidupan meliputi antara lain: bidang ekonomi, hukum, sosial politik,
keuangan, perhubungan, dan komunikasi, pertanian, pertambangan, pertahanan dan
lain-lain. Pembangunan sektor kehidupan tersebut dapat diartikan sebagai
aktivitas, pembinaan, pengembangan dan pengisian bidang-bidang kerja tersebut
agar dapat memenuhi hajat hidup warga negara sebagai suatu bangsa sehingga
tetap jaya dalam kancah kehidupan antara bangsa-bangsa di dunia.
Pembinaan dan pengembangan
bidang-bidang tersebut hanya mungkin dikerjakan jika diisi oleh orang-orang
yang memiliki kemampuan seperti yang dibutuhkan. Orang-orang dimaksud hanya
tersedia jika pendidikan berbuat untuk itu.
Uraian tentang sumbangan
pendidikan pada pembangunan seperti dikemukakan di atas dapat disimpulkan
sebagai berikut:
a.
Pada langkah pertama, pendidikan
menyiapkan manusia sebagai sumber daya pembangunan. Kemudian manusia selaku
sumber daya pembangunan membangun lingkungannya.
b.
Pada instansi terakhir, manusialah yang
menjadi kunci pembangunan. Kesuksesan pembangunan sangat tergantung kepada
manusianya.
c.
Pendidikan memegang peranan penting
karena merekalah yang menciptakan manusia pencipta pembangunan.
C.
Pembangunan
Sistem Pendidikan Nasional
Pada
bagian ini akan dikemukakan dua hal, yaitu:
1.
Mengapa sistem pendidikan harus
dibangun.
2.
Wujud pembangunan sistem pendidikan.
1.
Mengapa sistem pendidikan harus dibangun
Setiap pendidikan selalu
berurusan dengan manusia karena hanya manusia yang dapat dididik dan harus
selalu dididik (demikian menurut Langeveld). Bayi hanya akan menjadi manusia
jika melalui pendidikan. Sedangkan manusia adalah satu-satunya mahluk yang
dikaruniai potensi untuk selalu menyempurnakan diri. Padahal kesempurnaan itu
sendiri adalah suatu kondisi yang tidak akan kunjung dapat dicapai oleh
manusia.
Biasa dikatakan, manusia hanya
mengejar kesempurnaan agar dekat dengan kesempurnaan, tetapi tidak pernah akan
menyatu dengan kesempurnaan itu sendiri.
Adalah logis jika sistem
pendidikan yang merupakan sarana bagi manuisa untuk mengantar dirinya menuju
kepada kesempurnaan itu juga perlu disempurnakan.
Persoalan tentang bagaimana wujud
manusia sebagai mahluk yang ingin menyempurnakan diri, tetapi yang tidak
kunjung dapat sempurna itu, banyak dibahas oleh para filosof di dalam bidang
filsafat antropologi.
Ada yang menggambarkan manusia
sebagai mahluk yang selalu “meng-ada” (Drijarkara). Maksudnya manusia itu
adalah mahluk yang selalu mencari yang belum ada karena sasaran yang sudah ada
dibosani. Mencari dan mengadakan yang belum ada berarti berkreasi. Proses
mengada itu tidak pernah berhenti sepanjang hayat masih dikandung badan. Ada
pula yang menggambarkan manusia itu sebagai hewan yang sakit (das kranke tier), demikian kata Max
Scheller. Dilihat dari konstitusi fisiknya manusia sama dengan hewan. Tetapi
karena manusia mampu berpikir dan mengerti serta menyadari diri dan
lingkungannya, maka dia tidak bisa hanya menyerah dan melekat saja kepada alam
seperti hewan. Sebagai hewan yang sakit ia selalu gelisah. Kegelisahannya
bersifat ganda. Pertama karena terdorong ingin mengenal dirinya. Kedua gelisah
karena terdorong untuk menemukan jalan bagaimana dapat menguasai alam. Di
sinilah sumber kegelisahannya.
Sebagai pemikir menggambarkan
manusia itu sebagai “mahluk misteri”. Diri manusia diselubungi oleh segudang
teka-teki. Teka-teki yang oleh manusia itu tidak pernah ditemukan jawabannya
secara final.
Siapa Aku ini sebenarnya? Apa
tujuan hidupku? Bagaimana cara yang baik untuk mencapai tujuan itu ? Apa
hubungan lingkungan alam yang disediakan di sekitarku dengan tujuan hidupku?
Bagaimana seyogianya aku membina dialog dengan Akuku, dengan masyarakat, dengan
lingkungan alam, dan dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
tersebut ada yang sifatnya subjektif ada
pula yang objektif.
Di samping itu, pengalaman
manusia juga berkembang. Itulah sebabnya mengapa sistem pendidikan sebagai
sarana yang menghantar manusia untuk menemukan jawaban atas teka-teki mengenai
dirinya, juga selalu disempurnakan.
Selanjutnya persoalan pendidikan
juga dapat dilihat sebagai persoalan nasional karena pendidikan berhubungan
dengan masa depan bangsa. Jika masyarakat Indonesia (menurut rencana
pembangunan) pada Pelita VI berubah dari masyarakat agraris menjadi industri.
Tentunya pola pikir dan perilaku yang dilandasi oleh situasi dan kondisi
agraris harus berubah kearah situasi dan kondisi di mana manusia disibukkan
dengan kegiatan industri.
Kriteria “kualitas manusia” tentu
berubah sesuai dengan tuntutan masyarakat yang berkembang. Misalnya soal
pendidikan dasar (basic education) minimal bagi warga negara berubah dari 6
tahun menjadi 9 tahun. Penghargaan masyarakat terhadap waktu juga berubah dan
seterusnya.
Untuk dapat menyongsong suasana
hidup yang diperlukan itu sistem pendidikan harus berubah. Jika tidak, maka
pendidikan sebagai an agent of social
change (agen perubahan sosial) tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Strukturnya, Kurikulumnya, pengelolaannya, tenaga kependidikannya mau tidak mau
harus disesuaikan dengan tuntutan baru tersebut.
2.
Wujud Pembangunan Sistem Pendidikan
Secara makro, sistem pendidikan
meliputi banyak aspek yang satu sama
lain bertalian erat, yaitu:
-
Aspek filosofi dan keilmuan.
-
Aspek yuridis atau perundang-undangan
-
Struktur.
-
Kurikulum yang meliputi materi,
metodologi, pendekatan, orientasi.
a)
Hubungan
Antara Aspek-Aspek
Aspek filosofis, keilmuan dan
yuridis menjadi landasan bagi butir-butir yang lain, karena memberikan arah
serta mewadahi butir-butir yang lain. Artinya struktur pendidikan, kurikulum,
dan lain-lain yang lain itu harus mengacu kepada aspek filosofis, aspek
keilmuan, dan aspek yuridis. Oleh karena itu, perubahan apa pun yang terjadi
pada struktur pendidikan, kurikulum, dan lain-lain tersebut harus tetap berada
di dalam wadah filosofis dan yuridis.
Meskipun aspek filosofis itu
menjadi landasan tetapi tidak harus diartikan bahwa setiap terjadi perubahan
filosofis dan yuridis harus diikuti dengan perubahan aspek-aspek yang lain itu
secara total. Contohnya Undang-Undang Pendidikan No. 12 Tahun 1954 diubah
menjadi Undang-Undang No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
tetapi struktur pendidikan tetap saja seperti yang lalu yaitu pandidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Hal yang sama tetap berlangsung
meskipun falsafah pendidikan zaman penjajahan berubah sejak mulai merdeka
dengan falsafah Pancasila.
b)
Aspek
Filosofis Keilmuan
Aspek filosofis berupa penggarapan
tujuan nasional pendidikan. Rumusan tujuan nasional yang tentunya memberikan peluang
bagi pengembangan sifat hakiki manusia yang bersifat kodrati yang berarti pula
bersifat wajar. Bagi kita pengembangan sifat kodrati manusia itu paralel dengan
jiwa Pancasila. Filsafat Pancasila ini menggantikan secara total falsafah
pendidikan penjajahan. Penjajahan memfungsikan pendidikan sebagai sarana untuk
menghasilkan tenaga kerja yang terampil tetapi bersifat bergantung dan loyal
kepada penjajah. Iklim pendidikan seperti itu jelas berbeda dengan sistem
pendidikan dari bangsa yang merdeka, yang arah dan tujuannya ialah mewujudkan
manusisa-manusia yang cakap dan terampil, bersifat dinamis, kreatif, dan
inovatif serta mandiri tetapi penuh tenggang rasa.
Kecuali filsafat, segi keilmuan
juga memberikan sumbangan penting terhadap sistem pendidikan. Dalam usaha
mencapai tujuan yang telah dirumuskan oleh filsafat itu, sistem pendidikan
memerlukan tunjangan dari teori keilmuan.
Jika struktur pendidikan dan
kurikulum diubah dengan maksud agar lebih berdaya guna untuk mencapai tujuan
tersebut, maka perlu ditopang dengan teori-teori yang andal. Pendidikan yang
sehat harus merupakan titik temu antara “teori” dengan “praktek” demikian kata
J.H. Gunning, “Theorie zonder praktijk is
voor genieen, praktijk zonder theorie is voor gekken en schurken”. Teori
tanpa praktek hanya cocok bagi orang-orang pintar, sedangkan praktek tanpa
teori hanya dapat dilakukan pada orang gila. (M.J. Langeveld 1965:18).
M.J. Langeveld mengatakan bahwa
mempelajari ilmu mendidik berarti mengubah diri sendiri. Artinya dengan
mempelajari ilmu mendidik seseorang dapat membenahi tindakan-tindakannya
sehingga terhindar dari kesalahan-kesalahan
mendidik. Mengapa demikian, soalnya pendidikan itu adalah suatu proses
jangka panjang. Lama baru terlihat hasilnya, sehingga jika ada terjadi salah didik,
kesalahan itu tidak segera diketahui. Jadi, teori dipakai sebagai pedoman yang
memungkinkan dilakukannya antisipasi ke masa depan.
Dalam sejarah keilmuan di bidang
pendidikan bermunculan karya yang mempunyai pengaruh besar terhadap pendidikan
antara lain “Beknopte Theoretische
Paedagogiek” karya M.J. Langeveld, yang pada tahun 1955sudah lima kali
dicetak. Tulisan tersebut membahas pendidikan sebagai proses pengoperan
nilai-nilai, dengan menggunakan metode pendekatan fenomenologis.
Ph. Kohnstamin di dalam
tulisannya yang berjudul “Persoonlijkheid
in wording” (pembentukan kepribadian) terdapat di dalam Schepper en
Schepping (Sang pencipta dan penciptaanya) menggambarkan bagaimana kepribadian
yang religius itu harus dibentuk. Taksonomi kebahagian yang dikemukakan dalam
tulisan tersebut memberi acuan metodelogi pencapaian kebahagian (Moh. Thayeb,
1972: 17-18).
Konsep humanisme dengan pasang
surutnya serta pergeseran-pergeseran tekanan dari zaman kuno, abad tengah,
zaman Renaissanse hingga dewasa ini memberikan sumbangan yang sangat berarti
kepada pendidikan dalam membangun dirinya. Dewasa ini humanisme meniupkan angin
segar terhadap pendidikan yang bersasaran peserta didik sebagai pribadi yang
otonom. Paham humanisme memberi sumbangan terhadap bagaimana seyogianya
memandang peserta didik secara benar dan sehat.
Selanjutnya berbagai karya dalam
ilmu jiwa dalam (Diepte Psykologie)
dan ilmu jiwa analisis seperti karya Sigmund Freud (Hall S.Calvin, 1980: 48-95)
Afred Adle, Carl Gustaf Jung, Karen Horney, Herry Stacksullivan, dan Erichfroom
satu sama lain karyanya bersifat komplementer dalam memberikan sumbangan
terhadap pembentukan kepribadian (Moh. Thayeb, 1973:28). Pada pertengahan tahun
60-an Taxonomy of Educational Objectives
karya Benjamin S. Bloom dan kawan-kawan, memberikan sumbangan pada metode
pengembangan tingkah laku secara horizontal dan vertikal (Bloom, 1974: 99-174).
c)
Aspek
Yuridis
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
landasan hukum pendidikan sifatnya relatif tetap. Hal ini dimungkinkan oleh
karena UUD 1945 isinya ringkas sehingga sifatnya lugas. Beberapa pasal
melandasi pendidikan, baik yang sifatnya eksplisit (Pasal 31 Ayat (1) dan (2);
Pasal 32) maupun yang implisit (Pasal 27 Ayat (1) dan (2); Pasal 34). Pasal
tersebut yang sifatnya masih global dijabarkan lebih rinci ke dalam bentuk UU
Pendidikan. Berdasarkan UU Pendidikan inilah sistem pendidikan disusun dan
dilaksanakan.
Tetapi kemajuan zaman menimbulkan
kebutuhan-kebutuhan baru, khususnya kebutuhan akan penyempurnaan sistem
pendidikan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan-kebutuhan baru tersebut.
Jelasnya sistem pendidikan perlu disempurnakan, dan tugas ini hanya dapat
dilakukan dengan mendasarkan diri pada Undang-Undang Pendidikan.
Undang-Undang Pendidikan
No.4 Tahun 1950 yang kemudian dikukuhkan
kembali sebagai Undang-Undang Pendidikan No.12 Tahun 1954 setelah berlangsung
20 tahun atau sekitar empat pelita, mulai terasa kurang sesuai lagi untuk
digunakan sebagai dasar penyelenggaraan pendidikan. Namun demikian setelah
berlangsung 35 Tahun, tepatnya bulan Mei 1989 barulah berhasil diterbitkan
Undang-Undang Pendidikan yang baru yang dikenal dengan Undang-Undang RI No. 2
Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dibanding dengan Undang-Undang
Pendidikan No. 12 Tahun 1954 yang hanya mengatur pendidikan persekolahan, dapat
dikatakan bahwa UU RI No. 2 Tahun 1989 itu telah mengalami penyempurnaan dalam
banyak hal:
a)
Isi UU RI No. 2 Tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (SPN) lebih komprehensif, dalam arti bahwa UU No. 2
Tahun 1989 ini mencakup semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan. Seperti
diketahui di dalam undang-undang yang lama, Undang-Undang Pendidikan Tinggi
dipisahkan dari Undang-Undang Persekolahan
pra Pendidikan Tinggi . konsep yang komprehensif ini sejalan dengan
esensi pendidikan yang pada hakikatnya berupa proses bersinambungan yang
dimulai dari masa balita sampai masa manula dan yang berlangsung di mana saja
dan kapan saja.
Sifat
komprehensif ini juga mewadahi pendidikan pra-jabatan (preservice education) dan
pendidikan dalam jabatan (inservice
education) yang keduanya didudukkan sebagai subsistem yang komplementer.
Sifat komprehensif yang terakhir ini dipandang lebih sesuai dengan perkembangan
iptek yang sangat pesat yang berdampak pada terjadinya kebutuhan-kebutuhan yang
selalu berubah.
b)
Sifat UU RI No. 2 Tahun 1989 lebih
fleksibel, dp. UU No. 4/1950 dan UU No. 22/61. Fleksibilitas ini terlibat dalam
hal-hal seperti:
1) Masih
memberi peluang untuk dilengkapi dengan peraturan-peraturan pemerintah dan
keputusan menteri. Tidak kurang dari 16 pasal yang akan dijabarkan ke dalam
peraturan pemerintah dan 6 pasal ke dalam keputusan menteri. Strategi demikian
memungkinkan undang-undang yang sifatnya normatif itu di dalam realisasinya terkait dengan kondisi
sosial budaya masyarakat yang heterogen dalam bentangan geografis yang luas dan
bervariasi.
2) Adanya
badan pertimbangan pendidikan nasional (Bab XIV, Pasal 48), yang bertugas
memberi masukan dan saran-saran kepada pemerintah/menteri pendidikan dalam
menyusun peraturan pemerintah dan keputusan menteri.
3) Adanya
tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, dan keluarga dalam
menyelenggarakan pendidikan, sehingga pendidikan dapat mengarah kepada
keserasian pemenuhan tujuan negara di satu pihak dan kepentingan rakyat banyak
di pihak yang lain pada masa mendatang.
c)
Undang-Undang RI No. 2 Tahun 1989 tidak
hanya bersifat mengatur (seperti UU Pendidikan yang lalu), tetapi juga memiliki
kekuatan hukum yang bersifat memaksa. (Bab XVII Ketentuan Pidana, Pasal 55 dan
56 mengenai pelanggaran terhadap penggunaan gelar dan atau sebutan lulusan
perguruan tinggi). Sifat ini sesuai dengan wujud masyarakat Indonesia yang
sangat besar dan bersifat heterogen sehingga memerlukan pengendalian.
d) UU No. 2
Tahun 1989 lebih memperhatikan prospek masa depan. Undang-Undang No. 2 Tahun
tentang Sistem Pendidikan Nasional bersikap terbuka dalam mengantisipasi
perkembangan masa depan, yang diungkapkan dalam hal-hal berikut ini:
(1) Adanya tenaga kependidikan yang beraneka ragam
di samping guru (Bab VIII, Pasal 27). Strategi ini merupakan pendekatan baru
dalam proses pembelajaran dengan perubahan peran guru sejalan dengan
perkembangan iptek, khususnya teknologi pendidikan. Sebab dengan
didayagunakannya teknologi pendidikan dalam kadar tinggi, maka tanggung jawab dan tugas guru menjadi
tersebar pada banyak ketenagaan yang lain seperti laboran, teknisi sumber
belajar, dan lain-lain.
(2) Adanya keharusan bagi setiap satuan pendidikan
untuk menyediakan dan memanfaatkan sumber belajar (Bab VII, Pasal 35). Pasal
ini merupakan langkah pertama secara konstitusional dalam modernisasi
pendidikan di Indonesia, yang mencegah guru mendudukkan dirinya sebagai
satu-satunya sumber belajar, menyediakan proses pembelajaran lebih bervariasi
dan lebih realistis.
(3) Adanya pernyataan bahwa kurikulum harus
menggunakan pendekatan kompetensi (competency
based curriculum) dan memberikan tempat pada pengembangan sains dan teknologi sejak mulai sekolah
dasar (Bab IX), sebagaimana diketahui bahwa masa depan adalah masa sains
dan teknologi.
d)
Aspek
Struktur
Aspek Struktur pembangunan sistem
pendidikan berperan pada upaya pembenahan struktur pendidikan yang mencakup jenjang dan jenis pendidikan, lama waktu belajar dari jenjang yang satu ke
jenjang yang lain, sebagai akibat dari perkembangan sosial budaya dan politik.
Dalam prakteknya, perkembangan
pola struktur tidak dapat dipisahkan dari aspek filosofis. Pada zaman
penjajahan Belanda misalnya, sekolah taman kanak-kanak belum dianggap sebagai
suatu kebutuhan. Jenjang pendidikan formal yang terendah adalah sekolah rakyat/sekolah
desa (Volk School) 3 Tahun. Dalam hal demikian sekolah desa tidak berfungsi
sebagai pendidikan dasar (basic education) yang memberikal bekal dasar kepada
setiap warga negara untuk berperan serta dalam pembangunan, tetapi sekedar
untuk konsumsi politik etis dan menyiapkan tenaga buruh yang sekadar dapat
membaca dan menulis guna melancarkan roda pemerintahan penjajah. Sejak zaman
penjajahan, jenjang pendidikan formal terdiri atas jenjang pendidikan rendah,
menengah dan pendidikan tinggi, tetapi adanya segregasi pendidikan sangat
dirasakan. Saat itu dikenal apa yang disebut “Three Tract Systems” yaitu pemilihan pendidikan untuk tiga macam
golongan: Untuk rakyat jelata (bawahan), golongan atas pribumi yang
disejajarkan dengan Belanda, dan untuk golongan bangsa Belanda, Eropah, dan
Timur Asing. Sejak zaman kemerdekaan pemilihan seperti itu sudah tidak ada
lagi. semua sistem pendidikan yang ada disediakan untuk melayani semua anggota
masyarakat. Beberapa tahun kemudian sesudah kita merdeka, jenis pendidikan
tingkat menengah dan pendidikan tinggi demikian pula pendidikan nonformal
mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini terjadi karena beberapa
penyebab. Pertama karena aspirasi
berpendidikan dari orang tua dan angkatan muda semakin meningkat, kedua semakin berkembangnya jenis
pekerjaan di masyarakat, dan sejumlah di antaranya mengalami peningkatan
kualitas, hingga menuntut persyaratan kerja yang lebih andal. Banyak jenis
pekerjaan yang baru bermunculan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Sebagai
akibatnya timbullah kebutuhan beraneka ragam tenaga kerja yang harus
dipersiapkan melalui berbagai pendidikan kejuruan tingkat menengah atas dan
berbagai fakultas atau program studi pada perguruan tinggi, demikian pula melalui pendidikan nonformal.
Terjadinya perubahan struktur
dalam sistem pendidikan kita dapat disebut, antara lain: Pendidikan guru pada
zaman penjajahan Belanda dikenal apa yang disebut CVO (Cursus voor Volks-Onderwijs) dengan lama studi 2 tahun sesudah
sekolah rakyat (SR) 5 tahun, Normal School, yang lama studinya 4 tahun sesudah
SR 5 tahun, setara dengan SGB (Sekolah Guru Bawah).
-
Hogere Kweek School (HS) atau Hogere
Inlandsche Kweek School (HIK) setara dengan SGA (Sekolah Guru Atas).
-
Kemudian karena tamatan SPG (nama baru
dari SGA) dipandang tidak lagi berkelayakan untuk mengajar di SD, maka pada
tahun 1990 SPG dihapuskan dan diganti dengan PGSD (Pendidikan Guru Sekolah
Dasar) yang setara dengan D2 (Diploma
Dua), bertaraf akademis dengan masa studi 2 tahun sesudah SLTA.
Sedangkan untuk mengajar SLTP dan
SLTA sejak tahun 1954 dipersiapkan PTPG (Perguruan Tinggi Pendidikan Guru) yang
kemudian berubah menjadi FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan) dengan
lama studinya 3 tahun (sarjana muda) plus 2 tahun (sarjana lengkap).
-
Pada tahun 1970-an LPTK (Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan) yang sebelumnya lama studinya 5 tahun diredusir
hanya menjadi 4 tahun dengan sebutan strata satu (S1). Serempak dengan itu
lahirlah program S2 atau Magister dan program S3 atau program Doktor Kependidikan.
-
Untuk mengatasi masalah kekurangan
tenaga kependidikan pada SD dan sekolah menengah dalam waktu relatif singkat
pada tahun 1980-an dibukalah program multi-exit
entry system (program keluar masuk berkesinambungan) dalam bentuk program
diploma. Di samping itu, juga program akta mengajar III, IV, dan V
diperuntukkan bagi alumni universitas yang ingin menjadi guru dengan dibekali
paket kependidikan.
Dalam pada itu perlu dicatat
bahwa pendidikan guru pada zaman Belanda hanya sampai pada tingkat kursus hoofdakte
(kursus B1 setara dengan sarjana muda dan B2 setara dengan tingkat sarjana
lengkap). Meskipun demikian alumni B2 dapat dihitung dengan jari.
e)
Aspek kurikulum
Kurikulum merupakan sarana
pencapaian tujuan. Jika tujuan kurikulum berubah, maka kurikulum berubah pula.
Perubahan dimaksud mungkin mengenai materinya, orientasinya, pendekatannya
ataupun metodenya.
Kurikulum dalam sistem pendidikan
persekolahan di negara kita telah mengalami penyempurnaan-penyempurnaan dalam
perjalanannya.
Pada zaman penjajahan Belanda
karena sederhananya tujuan yang ingin dicapai, maka kurikulum pada SR (Sekolah
Rakyat) misalnya dikenal dengan apa yang disebut 3R’s. Pada zaman penjajahan
jepang pelajaran diwarnai iklim militeristis (upacara penghormatan Hinomaru,
Taiso [sekarang SKJ], latihan kemiliteran, Kingrohosi [kerja bakti],
menyanyikan nyanyian-nyanyian perjuangan dan pelajaran bahasa dan tulis
jepang). Sedangkan pelajaran-pelajaran yang lain di nomorduakan.
Pada era orde lama materi
pelajaran tujuh bahan zaman orde lama dan pokok indoktrinasi (tahun
1950-1960-an) menempati posisi penting dalam kurikulum, terutaman kurikulum
pendidikan tinggi. Dengan terjadinya tragedi nasional pada tahun 1965, maka
pada era orde baru, mulai tahun 1966, materi tujuh bahan pokok ditiadakan dan
materi Pendidikan Moral Pancasila menjadi materi pokok dalam kurikulum pada
semua jenjang pendidikan.
Kurikulum pada pra-universitas
secara keseluruhan dibenahi sehingga lahir kurikulum 1968. Tetapi kurikulum ini
dianggap belum memberikan rambu-rambu yang jelas, baik orientasinya maupun
pendekatan kurikulumnya. Usaha penyempurnaan selanjutnya menghasilkan kurikulum
1975/1976 yang berorientasi pada hasil (product
oriented) dengan metode PPSI (Prosedur Kurikulum Pengembangan Sistem
Instruksional). Tetapi karena pengalaman antara tahun 1976 sampai dengan tahun
1980 menunjukkan bahwa apa yang dikehendaki tidak tercapai, maka upaya
penyempurnaan kurikulum selanjutnya menghasilkan kurikulum 1984. Model ini
memadukan dua orientasi yaitu product
oriented dan process oriented, yang
ditunjang dengan pendekatan CBSA. Kemudian menjelang tahun 1990 dilengkapi
dengan muatan lokal dalam kurikulum, yang berlatar belakang pada tuntutan
sosial kultural dari derap pembangunan.
Dari uraian di atas, terlihat
betapa perlunya sistem pendidikan itu selalu disempurnakan, khususnya dari segi
kurikulumnya.
Rangkuman
Pendidikan mempunyai misi
pembangunan. Mula-mula membangun manusianya selanjutnya manusia yang sudah
terbentuk oleh pendidikan menjadi sumber daya pembangunan. Pembangunan yang
dimaksud baik yang bersasaran lingkungan fisik maaupun yang bersasaran
lingkungan sosial yaitu diri manusia itu sendiri,
Jika manusia memilki jiwa
pembangunan sebagai hasil pendidikan maka diharapkan lingkungannya akan
terbangun dengan baik.
Sumbangan pendidikan terhadap
pembangunan dapat dilihat dari segi sasarannya, lingkungan pendidikan, jenjang
pendidikan dan sektor kehidupan.
Secara khusus sumbangan
pendidikan terhadap pembangunan adalah pembangunan atas penyempurnaan sistem
pendidikan itu sendiri.
0 comment: